The Lion King : Klasik Disney

The Lion King : Klasik Disney – Sebuah film animasi yang awalnya tayang pada 1994 memenangkan dua Oscar untuk lagu dan musik terbaik, sementara versi teaternya juga mendapatkan status musikal terlaris di Broadway.

Sutradara Jon Favreau, yang juga membuat ulang The Jungle Book, menggunakan animasi fotorealistik dalam film tersebut.

Glover dan Beyonce menjadi di balik suara singa Simba dan Nala. https://www.queenaantwerp.com/

Aktor Inggris Chiwetel Ejiofor menjadi suara untuk Scar yang jahat.

Surat kabar The Telegraph memberikan ulasan bintang empat, mengatakan “kekuatan Lion King baru ini berasal dari luar”. https://www.queenaantwerp.com/

The Lion King : Klasik Disney

“Anda menyerap visualnya yang menakjubkan,” tulis Robbie Collin, “dan kagumi kemajuan luar biasa yang dapat terjadi dalam satu generasi, namun masih menginginkan keindahan dan kemurnian animasi buatan tangan yang hilang untuk memberi jalan bagi itu.”

Dia menambahkan: “Anda mungkin membayangkan bahwa nyanyian di tengah-tengah yang terlihat mudah, Hakuna Matata hanya berhasil jika digambar dengan tangan. Namun, ahli sinematografi Caleb Deschanel yang menguasai pertunjukan “alami” dan kegembiraan semata-mata atas penampilan Rogen dan Eichner menjadikannya bagian yang paling menyenangkan dari film.”

The Lion King merupakan film daur ulang terbaru, setelah Cinderella, Beauty And The Beast dan Aladdin.

Film ini menampilkan lagu-lagu oleh Sir Tim Rice dan Sir Elton John, 25 tahun setelah memenangkan Oscar.

Media The Guardian kurang terkesan dengan film ini, menulis “peniru teknologi deepfake yang tidak begitu keren.”

Peter Bradshaw mengatakan: “Ini adalah deepfake manusia-singa dengan proporsi yang mengesankan, tetapi meski mendapat kekaguman, Lion King yang baru kehilangan karakter dan kecerdasannya.”

The Lion King dibuka dengan scene seremoni penahbisan Simba kecil (JD McCrary). Dia diharapkan jadi raja yang nanti akan menggantikan ayahnya, Mufasa (James Earl Jones) memimpin kerajaan Pride Land. Dalam perjalanannya mencari jati diri sebagai calon raja, Simba kecil mendapat banyak halangan dari bertemu dengan kawanan hiena jahat yang dipimpin oleh Shenzi (Eric Andre) dan juga pamannya yang tak kalah jahatnya yaitu Scar (Chiwetel Ejiofor). Namun, Simba kecil juga mendapat banyak perhatian dari ibunya Sarabi (Alfre Woodard), burung kerajaan bernama Zazu (John Oliver), dan teman dekat Simba, Nala (Shahadi Wright Joseph).

Simba kecil merupakan singa muda yang energik dan tidak kenal takut. Suatu ketika Scar berencana mengkudeta Mufasa dengan memanfaatkan kepolosan Simba dan kelicikan kawanan hiena.

Tragedi masa kecil Simba membuatnya kabur dari Pride Land dan bertemu duo sahabat, babi hutan Pumbaa (Seth Rogen) dan meerkat Timon (Billy Eichner). Simba dan dua teman barunya akhirnya tumbuh kembang bersama. Manganut filosofi hidup “Hakuna Matata” yang artinya “Jangan Khawatir”, Simba dewasa (Donald Glover) pun mulai melupakan takdirnya sebagai raja. Sampai akhirnya Nala dewasa (Beyonce Knowles) dan babon kerajaan bernama Rafiki (John Kani) mencoba meyakinkan Simba untuk melawan kekuasaan Scar dan menjalani takdirnya sebagai raja Pride Land.

Setelah sebelumnya menggarap The Jungle Book, Jon Favreau kembali didapuk menempati kursi sutradara. Mengandalkan computer-generated imagery (CGI) kekinian, dia nampaknya ingin menyajikan cerita The Lion King dalam bentuk yang lebih nyata. Favreau menggunakan teknik fotorealistik untuk menampilkan karakter hewan secara realistis dalam film The Lion King terbaru ini. Mereka juga memaksimalkan teknologi VR/AR di sini. Teknik yang lebih maju dibanding saat pertama kali James Cameron dengan Avatar (2009) memprakarsai metode teknik perekaman digital sembari para aktor mengenakan kostum hijau khusus. Hasilnya, penonton dimanjakan dengan visualisasi ciamik yang menampilkan kehidupan liar para hewan di savana luas Afrika.

Sebagai remake, Favreau tak mau repot mengubah cerita dari versi 1994 lalu. Namun, Favreau sedikit memperpanjang durasi kali ini. Hal ini dirasa tepat dikarenakan, penambahan durasi difokuskan pada latar belakang karakter Mufasa yang di film 1994 tidak banyak dimunculkan. Film kali ini juga nampaknya lebih memfokuskan visual yang elok dan menawan ketimbang dari sisi cerita. Wajar karena cerita original di film 1994 dinilai banyak kalangan sudah sempurna dengan apa adanya.

Dalam satu sesi wawancara, Glover, sebagai pemeran Simba dewasa, menyatakan kalau film 2019 ini memiliki lebih banyak fokus pada Simba dibanding versi sebelumnya. Karena sutradara bertekad ingin memastikan bahwa penonton melihat seperti apa transisi Simba dari bocah menjadi dewasa dan bagaimana sulitnya gejolak emosi yang dia hadapi setelah menyaksikan trauma yang mendalam.

Dua dekade berlalu, ada banyak perubahan sosial terjadi di Hollywood. Misalnya soal ketegangan ras. Tak heran, jika Aladdin sebelumnya sempat menuai amarah karena tadinya para aktor kulit putih yang direncanakan memerankan karakter Timur Tengah. Hal yang urung dilakukan.

Demikian pula di The Lion King. Jika diperhatikan, tak seperti versi 1994, mayoritas aktornya kali ini berasal dari Afrika ataupun Afrika-Amerika. Hanya Billy Eichner, Seth Rogen, dan John Oliver yang berasal dari ras kaukasian. Ketiganya pun tidak mengisi suara singa-singa, hiena-hiena, atau hewan mana pun yang menggunakan aksen Swahili.  Bahkan beberapa nama juga diganti. Nama-nama para hiena: Shenzi, Kamari, dan Azizi diambil dari kata Swahili, yang masing-masing berarti ganas, sangat kuat, dan cahaya bulan. Dalam versi 1994, Kamari dan Azizi dulu namanya Banzai dan Ed.

Satu hal yang unik, Favreau memanggil kembali James Earl Jones (86 tahun) untuk mengisi suara ikonik Raja Mufasa. “Saya melihatnya sebagai cara meneruskan legacy dari karya klasik ini. Sekedar mendengar dia mengucapkan dialog itu pun sudah terasa sangat tidak nyata dan sulit dipercaya. Getaran suara dia memang sudah berubah. Tapi justru itu menguatkan kesan bahwa dia jadi terdengar seperti seorang raja yang sudah memerintah untuk waktu yang lama,” sebutnya dalam sebuah wawancara.

Animasi klasik Disney memang banyak jumlahnya. Ke depannya, mereka tengah menyiapkan setidaknya dua film lagi, Mulan dan Little Mermaid. Jika hanya terus mengandalkan remake tanpa ada inovasi cerita, tren Disney ini dikhawatirkan kelak akan jadi membosankan. Tak ada salahnya membuat sekuel, seperti yang mereka lakukan dengan Winnie the Pooh (2011) dan Christopher Robin (2018). Atau juga kisah yang sama sekali berbeda, seperti Alice on Wonderland (2010) yang jauh beda dengan versi 1951.

The Lion King : Klasik Disney

Disney memprediksi The Lion King bisa meraup US$210 juta dalam pemutaran pekan pertama di Amerika Serikat saja. Jika ini tercapai, maka The Lion King akan mengalahkan rekor The Beauty and the Beast yang meraup US$174 juta.

– ‘Tak lekang oleh waktu’

Media kabar The Independent terkesan dengan Disney yang terus “menemukan cara baru untuk menceritakan kisah lama”. Penulis Clarisse Loughrey memberikannya empat bintang, memuji film itu sebagai “keajaiban teknologi hiperrealisme yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

Dia pun menambahkan, “The Lion King menggunakan nostalgia sebagai batu loncatan untuk bereksperimen, menemukan cara-cara baru untuk menceritakan kisah-kisah lama, sambil mengingatkan kita apa yang membuat kisah-kisah itu terasa tak lekang oleh waktu sejak pertama kali dibuat.”

Peter Debruge dari majalah Variety terbuai oleh CGI di film ini, mengatakan “hewan-hewannya terlihat sangat meyakinkan”, menambahkan bahwa film ini akan mengesankan penggemar lama dan memenangkan hati penggemar baru juga.

Beliau mengatakan: “Dengan memfokuskan perhatiannya pada peningkatan tampilan film sebelumnya sambil tetap berpegang pada pilihan sutradara dan naskahnya, Favreau memperkuat film keluaran 1994.

Todd McCarthy dalam surat kabar The Hollywood Reporter tidak terlalu banyak memuji, mengatakan sangat sedikit film daur ulang yang mengikuti versi aslinya seperti ini.

“Semua yang ada di sini sangat aman dan diperhitungkan dengan cermat sehingga tampaknya belum dicerna,” katanya. “Tidak ada kejutan selama dua jam penuh.”

“Apabila Anda tidak pernah menjadi penggemar The Lion King, maka tidak ada yang akan membuat Anda tertarik. Di sisi lain, bagi mereka yang terlalu muda untuk menontonnya dulu, ini bisa menjadi pengalaman yang mengubah hidup.”

Brian Viner dari The Daily Mail tidak setuju dan mengatakan versi The Lion King ini “mungkin saja yang terbaik” yang dibuat ulang oleh Disney, tetapi dengan satu atau dua syarat.

Beliau mengatakan meski wajah binatang-binatang itu kurang ekspresif daripada yang sebelumnya, dan Ejiofor “tidak bisa menyamai” pendahulunya [aktor Scar asli] Jeremy Irons “untuk mengancam dalam suara bariton”, film ini adalah “film hebat dengan gayanya sendiri”.

– ‘Dihayati dan sinis’

Kevin Maher di The Times memberikannya empat bintang, dan setuju bahwa “itu lebih baik daripada yang asli”. Dia juga lebih suka penggambaran Ejiofor tentang paman Simba dan adik lelaki Mufasa yang cemburu, menyebut kinerja Ejiofor sebagai “ahli”.

Pembuat film, katanya, telah “menukar gaya camp Jeremy Irons untuk sesuatu yang jauh lebih dihayati dan sinis”.

Situs yaitu IndieWire menyimpulkan bahwa pembuatan ulang Disney adalah “sebuah bencana besar ke lembah yang tidak biasa.” David Ehrlich menulis: “Seperti deepfake terpanjang dan paling tidak meyakinkan di dunia, Lion King yang baru secara fatal salah paham akan apa yang membuat Disney istimewa.”